Marketplus.id – Cybercrime sesungguhnya bukan tindak kejahatan yang baru. Cybercrime ialah sebuah istilah yang menunjuk pada aktivitas kejahatan dengan menggunakan komputer atau jaringan komputer sebagai alat, atau sebagai sasaran, serta, lokasi terjadinya kejahatan.
Menurut Brahma Astagiri, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, berbicara idealnya, tentu tidak seharusnya dan tidaklah mudah masyarakat menjadi korban ulah penjahat siber. Tetapi, di Indonesia, jaminan dan upaya memberi perlindungan masyarakat agar tidak menjadi korban praktik penyalahgunaan penjahat siber sering kali tidak mudah.
“Sejumlah faktor yang menyebabkan para hacker dan penjahat siber mudah menjalankan aksinya ialah, pertama, ketika masyarakat yang tengah menghadapi kecemasan dan dilanda ketakutan yang berlebihan akibat pemberitaan tentang bahaya Covid-19 yang terus menerus memborbardir dunia maya dan media sosial,” ujar Brahma, saat menjadi pembicara dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 untuk wilayah Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, Selasa (10/8/2021).
Ia menjelaskan, pemberitaan tentang panic buying yang dilakukan masyarakat membeli masker, hand sanitizer, APD, dan bahkan makanan membuat masyarakat yang terpengaruh kemudian sibuk dan lengah tatkala mencari informasi di dunia maya.
“Banyak kasus membuktikan masyarakat menjadi korban penipuan praktik jahat pelaku cybercrime yang memanfaatkan momen ketika permintaan terhadap alat medis seperti masker dan hand sanitizer melonjak tajam. Masyarakat yang berusaha membeli masker atau hand sanitizer lewat situs-situs penjualan di dunia maya, tak jarang menjadi korban orang yang tidak bertanggung jawab,” katanya.
Ia mengatakan, sebagian masyarakat yang sudah terlanjur membeli barang via online dan telah mentransfer sejumlah uang, ternyata mendapatkan barang yang tidak diinginkan. Bahkan, barang yang mereka pesan sama sekali tidak pernah terkirim.
“Selain itu, akibat ketidaktahuan masyarakat tentang pentingnya menjaga kerahasiaan akun dan identitas pribadinya, sebagian masyarakat menjadi korban penipuan yang dilakukan penjahat siber. E-mail penipuan, SMS, pesan di media sosial yang meminta kode pemesanan barang, nomor kartu kredit, nomor PIN, dsb, tidak jarang tanpa diverifi kasi lebih lanjut dijawab dengan polosnya. Padahal hal itu sangat berisiko,” paparnya.
Ancaman cybercrime di Indonesia merupakan tindak kejahatan di era masyarakat digital yang makin mencemaskan. Dalam laporan State of The Internet tahun 2013, misalnya Indonesia disebut-sebut sebagai negara dengan urutan kedua dalam kasus cybercrime di dunia.
Angka cybercrime di Indonesia di tahun itu dilaporkan mencapai angka 36,6 juta serangan. Semasa wabah Covid-19, bisa dipastikan angka serangan siber yang menghantui masyarakat akan melonjak tajam dan membutuhkan antisipasi yang sesegera mungkin.
Lebih daripada sekadar perlindungan dan langkah-langkah pencegahan yang mengandalkan pada kerja Badan Siber Nasional dan Kominfo, upaya untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban cybercrime tentu juga tergantung pada kemampuan dan literasi infomasi masyarakat itu sendiri.
“Di tengah booming informasi dan meningkatnya kecemasan masyarakat akan bahaya Covid-19, jangan sampai kita terperangkap dan menjadi korban untuk kedua kalinya akibat ulah penjahat siber. Biasakan diri hanya membuka situs-situs resmi untuk mendapatkan update mengenai kondisi terbaru Covid-19, demi menghindari infeksi malware, dan tidak menjadi korban cybercrime,” tutupnya.