Marketplus.id – Dalam rangka Hari Kesehatan Nasional, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) mengadakan seminar “Peran Strategis GPFI dalam Menegaskan Prinsip 4K untuk Menunjang Kesehatan Nasional” untuk menegaskan komitmennya dalam memperkuat ketahanan kesehatan nasional melalui ketersediaan, keterjangkauan, kualitas, dan kemandirian obat produksi dalam negeri.
Pada hari yang sama, komitmen dan dedikasi GPFI dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, diwujudkan dengan pelaksanaan kegiatan Cek Kesehatan Gratis di Graha CIMB Niaga Sudirman, untuk masyarakat umum.
Obat memiliki peran vital dalam menjaga dan memulihkan kesehatan masyarakat Indonesia, sekaligus menjadi salah satu fondasi penting dalam sistem pelayanan kesehatan nasional yang berkelanjutan. Selama lima dasawarsa terakhir, industri farmasi nasional yang tergabung dalam GPFI telah berkontribusi dalam menghadirkan obat-obatan berkualitas tinggi dengan harga terjangkau.
Melalui kolaborasi erat antara Kementerian Kesehatan, Badan POM, Kementerian Perindustrian, dan pelaku industri, berbagai capaian strategis telah berhasil diwujudkan, baik dari sisi produksi, distribusi, maupun jaminan mutu obat yang beredar di masyarakat.
Menjawab Komitmen dan Tantangan Prinsip 4K
Prinsip 4K menjadi pilar utama industri farmasi nasional: Ketersediaan obat di seluruh fasilitas kesehatan; Keterjangkauan harga agar obat dapat diakses semua kalangan; Kualitas yang memenuhi standar GMP-CPOB dan Farmakope Indonesia; serta Kemandirian industri agar mampu memproduksi obat di dalam negeri tanpa ketergantungan pada bahan baku impor.
Namun, upaya pencapaian empat aspek tersebut bukan tanpa tantangan. Terdapat keseimbangan yang harus dijaga antara biaya produksi, regulasi kualitas, dan kemampuan masyarakat dalam mengakses obat. GPFI bersama para pemangku kepentingan terus mencari solusi untuk menjaga kepentingan antara keterjangkauan dan kualitas, antara kemandirian industri dan keberlanjutan pasokan.
Melalui kolaborasi berkelanjutan, GPFI berhasil membuktikan bahwa harga obat di Indonesia mengalami penurunan hingga 50 persen selama sepuluh tahun terakhir, tanpa mengorbankan mutu. Peningkatan efisiensi produksi, perbaikan sistem distribusi, serta dukungan kebijakan pemerintah telah menjadikan obat-obatan nasional semakin terjangkau bagi masyarakat luas.
Data IQVIA Kuartal II tahun 2025 menunjukkan bahwa 85 persen obat yang digunakan masyarakat Indonesia merupakan obat generik produksi dalam negeri, sedangkan 15 persen lainnya menggunakan obat bermerek dan obat originator yang bukan produksi anggota GPFI.
“Data ini menunjukkan bahwa isu mengenai tingginya harga obat di Indonesia sudah tidak lagi relevan, karena mayoritas obat yang digunakan Masyarakat -sekitar 85 persen-merupakan obat generik dengan harga terjangkau. Industri farmasi nasional telah membuktikan bahwa obat berkualitas tidak harus mahal,” jelas Direktur Eksekutif GPFI, Drs. Elfiano Rizaldi.
Kualitas Terjamin dan Fakta Lapangan
Kualitas obat generik nasional telah terbukti setara dengan obat bermerek, sebagaimana dibuktikan melalui hasil penelitian kolaboratif Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Imperial College London, dan Erasmus University Rotterdam. Dari 1.274 sampel obat yang diteliti, hampir seluruhnya memenuhi standar mutu farmakope internasional.
Prof. Dr. apt. Yusi Anggraini, M.Kes, Co-Principal Investigator penelitian tersebut, yang juga menjadi salah satu narasumber seminar GPFI hari ini menegaskan, “Perbedaan harga tidak selalu mencerminkan perbedaan kualitas. Sebagian besar obat generik dalam negeri sudah memenuhi standar mutu tinggi dan aman digunakan masyarakat. Baik produk generik, nama dagang baik dari dalam negeri ataupun luar negeri, memiliki kualitas sebanding. Perlu dilakukan perluasan analisis untuk produk obat lain, sehingga semakin memperkuat bukti kualitas obat di Indonesia.”
Pernyataan ini memperkuat kepercayaan publik bahwa obat produksi Indonesia memiliki kualitas yang tidak kalah dibanding produk luar negeri. Upaya GPFI dalam memastikan kepatuhan terhadap standar BPOM dan CPOB merupakan bukti nyata komitmen industri terhadap kualitas.

Kontribusi Ekonomi dan Peran Strategis GPFI
Melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), lebih dari 98 persen masyarakat Indonesia -sekitar 281,8 juta jiwa- telah memperoleh akses layanan kesehatan yang memadai di berbagai fasilitas di seluruh negeri (data BPJS, 30 September 2025). Program JKN yang berbasis prinsip gotong royong ini menjadi salah satu sistem kesehatan terbesar di dunia, dengan pembiayaan yang melibatkan pemerintah, perusahaan pemberi kerja, dan peserta mandiri. Keberhasilan JKN menjadikan biaya layanan kesehatan di Indonesia termasuk yang paling efisien di kawasan ASEAN dan GPFI turut berperan aktif dalam menjaga efisiensi tersebut melalui penyediaan obat berkualitas dan terjangkau.
“Murahnya harga obat di Indonesia bukan berarti kualitasnya menurun, melainkan hasil dari efisiensi produksi, dukungan JKN, dan sinergi gotong royong seluruh pelaku industri farmasi,” terang Drs. Elfiano Rizaldi.
Industri farmasi juga berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Pada tahun 2024, kontribusi ekonomi industri farmasi mencapai sekitar Rp143 triliun, dengan efek berganda terhadap berbagai sektor terkait seperti bahan baku, kemasan, laboratorium, serta tenaga kerja manufaktur.
“Target kami adalah mencapai pertumbuhan lebih dari 8 persen agar industri farmasi menjadi penggerak ekonomi dan sejalan dengan visi Presiden Prabowo menuju Indonesia Emas 2045. Karena dukungan kebijakan pemerintah diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara keterjangkauan harga obat dan keberlanjutan industri,” jelas Drs. Elfiano Rizaldi.
GPFI mencatat bahwa kolaborasi yang baik antara pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan, BPOM, Kementerian Perindustrian, pelaku industri dan stakeholders lainnya, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kemandirian produksi obat tertinggi di ASEAN, di mana lebih dari 82 persen kebutuhan obat nasional telah dapat dipenuhi oleh industri dalam negeri. Peningkatan ini tidak hanya memperkuat ketahanan sektor kesehatan, tetapi juga membuka peluang investasi, penciptaan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. “Ini bukti keberhasilan investasi besar sektor farmasi nasional dalam riset dan fasilitas berstandar internasional,” ungkap Tirto Koesnadi, Ketua Umum GPFI.
Berbagai kebijakan oleh Kementerian Kesehatan dan BPOM telah mendukung kemajuan industri farmasi nasional. Mulai dari penerbitan Suplemen III Farmakope Indonesia VI yang memudahkan implementasi standar mutu, penyempurnaan e-Katalog versi VI untuk memastikan hanya obat sesuai spesifikasi yang ditampilkan, hingga regulasi KMK No. 972/2025 yang membuka akses distribusi obat OTC di modern outlet. Dukungan lain seperti program JFI, serta pendampingan teknis BPOM dalam penyusunan pedoman FI VI menjadi bukti nyata sinergi p Kementerian Kesehatan dan BPOM, dalam menciptakan regulasi yang efisien, inovatif, dan berpihak pada masyarakat.
Tantangan dan Harapan
Meski capaian industri farmasi nasional sangat baik, GPFI mencatat masih ada sejumlah tantangan yang perlu diatasi bersama. Harga obat yang terlalu rendah dapat menekan keberlangsungan industri farmasi. “Jika tekanan harga terus berlanjut tanpa adanya kebijakan yang seimbang, keberlanjutan industri nasional bisa terganggu,” ujar Elfiano Rizaldi.
GPFI mengajukan empat langkah kebijakan konkret untuk memperkuat sektor farmasi nasional. Pertama, dilakukan kajian harga obat agar manfaat bisa langsung dirasakan pasien. Kedua, BPOM perlu membuka jalur cepat (fast track) untuk perubahan izin edar obat ketika bahan baku mengalami penyesuaian akibat dinamika pasokan global. Ketiga, GPFI mendorong keberlanjutan program SatuSehat sebagai sistem informasi digital terintegrasi untuk memantau ketersediaan obat secara real-time. Keempat, GPFI mengusulkan agar pasien rumah sakit dapat menebus resep rawat jalan di apotek, guna menciptakan harga yang lebih kompetitif serta memberdayakan ekonomi lokal.
“Ke depan, GPFI berharap kebijakan pemerintah dapat semakin berpihak pada penguatan industri dalam negeri dengan menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi, transfer teknologi, serta pengembangan tenaga ahli farmasi nasional. Keseimbangan antara empat pilar utama—ketersediaan, keterjangkauan, kualitas, dan kemandirian—harus terus dijaga melalui koordinasi dan kolaborasi berkelanjutan antara pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan, BPOM, Kementerian Perindustrian dan pelaku industri,” sambung Drs. Elfiano Rizaldi. Melalui koordinasi dan kebijakan yang terintegrasi, industri farmasi nasional akan semakin siap menjadi bagian penting dari pertumbuhan ekonomi dan ketahanan kesehatan bangsa.
“Tantangan terbesar Indonesia bukan lagi menurunkan harga, tetapi menjaga keberlanjutan sistem farmasi nasional agar tetap kuat dan berdaya saing. Harga obat murah harus berjalan selaras dengan keberlanjutan industri, agar rantai pasok tetap mampu menyediakan obat esensial di seluruh Indonesia. Dalam upayanya mewujudkan industri farmasi yang sehat dan kuat, GPFI akan terus menjadi mitra strategis pemerintah untuk memastikan masyarakat Indonesia memperoleh akses terhadap obat yang aman, berkualitas, dan terjangkau, sambil memperkuat daya saing industri farmasi nasional,” tutup Tirto Koesnadi.