Marketplus.co.id – Tak hanya berdampak besar pada bisnis perusahaan, pandemi dan pembatasan mobilitas mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Tak terkecuali perilaku konsumen dalam berbelanja. Perubahan tersebut terungkap dari survei yang dilakukan oleh Bank DBS Indonesia. Dalam survei yang dilakukan secara daring selama dua minggu pada pertengahan Juni lalu, Bank DBS Indonesia mengeksplorasi perubahan perilaku belanja konsumen selama pandemi Covid-19.
Untuk beradaptasi dengan perubahan ekonomi akibat pandemi Covid-19, menurut survei Bank DBS Indonesia, sebagian besar responden memilih mengerem belanja, paling tidak hingga enam bulan ke depan. “Pendapatan mereka sebagian besar ditabung dan diinvestasikan daripada dihabiskan untuk belanja barang-barang atau pun beraktivitas,” demikian temuan riset Bank DBS Indonesia yang bertajuk “Indonesia Consumption Basket” yang diterbitkan pada 28 Agustus 2020 tersebut.
Survei Bank DBS Indonesia mengungkapkan ada lima temuan kunci saat melakukan survei terhadap lebih dari 500 responden yang mayoritas berasal dari Pulau Jawa, termasuk Jakarta dan sebagian kecil luar Pulau Jawa. Hasilnya, terdapat perubahan sikap masyarakat terhadap kesehatan: lebih fokus terhadap kebutuhan rumah, memilih untuk memasak makanan sendiri, dan beralih berbelanja melalui platform e-commerce. Ada pun, belanja kebutuhan sehari-hari secara tradisional pun ikut berubah.
“Responden menyebutkan bahwa kesehatan dan kebersihan adalah hal berharga dan terdapat perubahan cara pandang terhadap dua hal itu,” ungkap survei tersebut. Sekitar 54 persen responden mengonsumsi lebih banyak vitamin dan suplemen.
Ada pun dalam hal makanan, 69 persen responden memilih mengonsumsi makanan yang dimasak sendiri. Sekitar 84 persen responden memilih beraktivitas dari rumah. Mulai dari kerja, belajar dan aktivitas lainnya. Perubahan perilaku belanja pun turut terlihat. Belanja online di situs e-commerce meningkat 66 persen setelah pandemi, di mana sebelum pandemi hanya 14 persen. Belanja di pusat perbelanjaan turun secara signifikan mencapai 24 persen, padahal sebelum pandemi Covid-19, 72 persen responden memilih belanja di toko.
Belanja kebutuhan sehari-hari ke pasar tradisional pun terjun bebas. Responden memilih menggunakan platform aplikasi belanja sembako karena akses membeli produk segar di pasar terkendala Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Juga, adanya peningkatan kesadaran akan kebersihan.
Aplikasi toko online sebagai tempat pilihan responden untuk berbelanja naik tujuh kali lipat dari tiga persen sebelum pandemi menjadi 21 persen. Mereka yang masih berbelanja ke pasar tradisional turun tajam menjadi 30 persen dari 52 persen sebelum pandemi.
Akibat pandemi dan rendahnya konsumsi rumah tangga karena konsumen yang cenderung mengerem belanja, DBS telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi minus satu persen dari perkiraan sebelum pandemi 5,3 persen.
Hingga akhir Agustus lalu, Pemerintah masih berharap resesi bisa dihindari. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah bakal habis-habisan menggunakan seluruh instrumen untuk menjaga perputaran mesin perekonomian, terutama pada kuartal ketiga 2020.
Sejak pandemi Covid-19, konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua 2020 turun hingga 5,51 persen. Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Walhasil, pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama menurun menjadi minus 5,32 persen.
Untuk mengimbangi rendahnya konsumsi rumah tangga, pemerintah berupaya menggenjot belanja negara. “Strategi percepatan penyerapan untuk kuartal ketiga ini menjadi kunci agar kita mampu mengurangi kontraksi ekonomi atau bahkan diharapkan bisa menghindari resesi,” kata Sri Mulyani, pada Rapat Kerja (Raker) Komisi XI DPR dengan agenda Pembahasan Perkembangan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) akhir Agustus lalu.
Kementerian Keuangan mencatat belanja pemerintah pada Agustus 2020 melesat sebanyak 8,8 persen dibanding bulan sebelumnya. Realisasi belanja pemerintah hingga Agustus 2020 mencapai Rp1.362,63 triliun. Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan belanja yang cukup signifikan tersebut sesuai instruksi Presiden Joko Widodo.
Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Adi Budiarso menyatakan, pemerintah memiliki tiga jurus utama untuk mengungkit ekonomi pada kuartal ketiga. “Pada saat masyarakat mengalami tekanan ekonomi, supply dan demand pemerintah harus berfokus pada upaya countercyclical,” kata Adi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VI DPR RI akhir Agustus lalu.
Jurus pertama pemerintah adalah mempercepat realisasi program-program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Termasuk memperbaiki ketepatan data dan melakukan realokasi anggaran yang belum terpakai untuk program baru. Jurus selanjutnya adalah meningkatkan konsumsi pemerintah yang menyumbang 8,67 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Beberapa program yang menurut Adi telah dilakukan adalah pencairan gaji ke-13 dan bantuan pulsa untuk Aparatur Sipil Negara (ASN). Terakhir, jurus pemerintah adalah dengan memperkuat konsumsi masyarakat. Caranya dengan memodifikasi belanja perlindungan sosial dengan menaikkan besaran manfaat, menambah frekuensi penyaluran, dan periode penyaluran.
Namun, kebijakan ekspansi fiskal Pemerintah sayangnya masih belum menyelesaikan persoalan ekonomi. Pada Selasa, 22 September 2020, Sri Mulyani menyampaikan bahwa Kementerian Keuangan memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal ketiga masih rendah dibanding ramalan semula. Meski belanja pemerintah naik lumayan tinggi, tapi pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode Juli-September diperkirakan masih minus 2,9 persen.
“Konsumsi rumah tangga, investasi, ekspor, dan impor masih negatif,” ujar Sri Mulyani. Secara keseluruhan, Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan negatif 0,6 persen hingga minus 1,7 persen.