
Marketplus.id – Tren belanja online di Indonesia mulai dikenal sejak 1999, namun tumbuh sangat masif sejak pandemi covid-19 di awal 2020. Ada unsur “paksaan” yang harus dijalankan dengan mempertimbangkan alasan kesehatan.
Siap atau tidak, masyarakat diimbau melakukan aktivitas ekonomi belanja dengan memanfaatkan teknologi digital. Tak hanya konsumen, banyak pelaku usaha yang juga baru mencoba perannya sebagai pedagang di industri digital, terutama platform e-commerce.
Dengan kondisi demikian, perlu adanya edukasi dan sosialisasi terkait semua tahapan belanja dan berjualan online. Bersamaan dengan Hari Konsumen Nasional (Harkonas) yang jatuh pada 20 April mendatang, penting bagi semua pihak untuk menjalankan perannya sehingga bisa memberikan layanan yang memuaskan konsumen sesuai dengan hak mereka.
Ada beberapa tantangan yang muncul dalam kegiatan belanja online. Sebut saja pemberian informasi yang lengkap dan akurat terkait produk yang dipasarkan, kesigapan merespon pertanyaan, menindaklanjuti keluhan, memastikan proses pengemasan dan pengiriman juga sesuai yang dijanjikan pedagang.
Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA), Bima Laga mengakui bahwa pelaku industri e-commerce masih harus gencar melakukan edukasi yang terkait pemaparan deskripsi produk yang sesuai dengan kondisi riilnya.
“Salah satu penyebabnya adalah banyaknya reseller dan drop shipper yang bisa jadi belum menguasai product knowledge sehingga kurang tepat menuliskan deskripsi sehingga terjadi salah paham paska transaksi,” kata Bima dalam diskusi Pemanfaatan Teknologi dan Kurasi untuk Melindungi Hak Konsumen, secara daring, Senin (18/4).
“Selain jaminan kualitas produk, cara melayani konsumen tanpa bertatap muka juga butuh ditingkatkan,” ujarnya menambahkan. “Belum lagi terkait keluhan after-sales yang masih seringkali menimbulkan kesalahpahaman antara konsumen dan pedagang.”
Sejalan dengan Bima, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Veri Anggrijono menyatakan komitmennya beserta jajaran untuk bisa menghadirkan kepastian hukum bagi perlindungan konsumen. “Kami pastikan akan membangun kerjasama yang erat dengan pelaku industri digital, terutama platform e-commerce untuk mewujudkan hal tersebut,” kata Veri menegaskan.
“Landasan hukum untuk menegakkan perlindungan konsumen sudah ada, namun perlu komunikasi dan kerjasama semua pihak untuk bisa menjalankannya,” ujarnya lagi. “Meski demikian, konsumen juga harus menjalankan kewajibannya sehingga bisa terjalin kesetaraan dalam aktivitas konsumsinya.”
Peran Penting Platform E-commerce
Sebagai media aktivitas belanja online yang paling digemari saat ini, platform e-commerce tentu punya tugas yang cukup berat dalam mewujudkan perlindungan konsumen ini. Edukasi terhadap para merchants yang baru bergabung, atau sudah lama, tetap harus terus dilakukan. Salah satunya adalah bagaimana cara melayani konsumen digital agar mereka mendapat informasi dan layanan yang optimal.
Ada jutaan merchant baru yang akhirnya membuka toko online di platform e-commerce yang sangat mungkin masih minim pengetahuan terkait menjalankan usaha dengan memanfaatkan teknologi digital. Jelas, platform e-commerce merupakan gerbang edukasi andalan yang tepat untuk membuka wawasan mereka tentang bagaimana menjangkau pasar luas dengan pelayanan yang memuaskan dan membuat konsumen loyal pada produknya.
Hal terpenting juga diemban oleh platform ecommerce menghadapi konsumen, bagaimana mendorong percepatan digitalisasi dengan membuat konsumen terbiasa dan nyaman berbelanja online.
Kedua hal tersebut kerap menjadi tujuan utama industri ecommerce untuk menciptakan ekosistem digital yang bersinergi dan unggul dalam berkontribusi dalam pemulihan ekonomi.
Yang kini juga sedang marak disorot adalah peredaran produk palsu. Platform dinilai memiliki peran penting untuk memastikan produk yang dipasarkan para merchants-nya adalah produk dari produsen aslinya.
SVP Commercial Analytics Blibli, Restu Kresnadi menyatakan komitmen kurasi produk merupakan hal yang sangat penting. “Kurasi dan sistem monitoring harian yang cermat menjadi kunci terhadap perlindungan hak konsumen untuk bisa mendapatkan produk asli yang sesuai dengan harapan dan juga uang yang mereka bayarkan, bahkan sistem monitoring yang kami terapkan sekaligus melindungi para seller,” ucap Restu tegas. “Bukan berarti fokus pada produk dengan label ternama saja, karena pelaku UMKM lokal juga banyak menghasilkan produk dengan kualitas unggulan dan banyak peminatnya.”
Restu melanjutkan, proses sebuah seller bisa berjualan toko online di Blibli tidak asal begitu saja. “Kami melakukan kurasi berlapis mulai dari penggunaan AI/ML hingga tim kurator untuk memastikan produk yang akan dipasarkan adalah legal, tidak melanggar aturan pemerintah, dan memiliki kualitas dengan keaslian yang bisa dipertanggungjawabkan.” Bagaimana dengan SOP internal bagi produk yang melanggar aturan, Restu menambahkan, “Kami akan melakukan takedown link dan bagi yang telah melakukan pelanggaran sebanyak satu kali dan memberlakukan suspend hingga menghapus akun seller tersebut. Namun dalam prosesnya kami mengirim notifikasi ke seller yang bersangkutan dan memberi waktu untuk memberi klarifikasi. Sehingga tidak serta merta mematikan usaha seller tersebut.” Langkah ini relatif kurang populer namun harus dilakukan demi komitmen Blibli dalam menyediakan produk asli dalam platformnya, tak lain untuk melindungi tak hanya konsumen, namun juga seller.
Sistem monitoring ini juga terintegrasi dalam keseluruhan customer journey, hingga apabila konsumen setelah membeli produk dapat membuktikan produk tersebut tidak asli, maka mereka dapat melakukan proses retur dan mendapatkan pengembalian dana.
Meski tren belanja online terus meningkat, pelaku industri dan pemerintah tidak bisa lengah. Pasalnya, saat ini, perkembangan yang terjadi masih bisa disebut dalam masa transisi dari konvensional ke digital. Tentu masih banyak hal yang perlu dicermati sehingga tidak muncul masalah besar di kemudian hari, dan cita-cita membangun ekonomi digital Indonesia yang mapan bisa segera terwujud.