Marketplus.co.id  Royal Philips  mengumumkan temuan studi yang dilakukan di 15 negara, Future Health Index (FHI). Studi ini menunjukkan dedikasi dan komitmen generasi muda tenaga kesehatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di tengah pandemi dan menyoroti pengalaman serta tantangan yang menunjukkan perlunya perubahan lebih besar dalam pelayanan kesehatan.

Di tahun kelimanya, survei tahun ini menjadi studi pertama yang mengangkat generasi muda tenaga kesehatan profesional berusia di bawah 40 tahun. Future Health Index (FHI) 2020 report: berjudul ‘Era Kesempatan: Memberdayakan generasi penerus untuk mengubah dunia pelayanan kesehatan’ ini menggambarkan sistem kesehatan menjelang krisis pandemi COVID-19 secara realistis. Riset ini mencakup 3.000 responden yang berasal dari 15 negara dari seluruh dunia.

Studi ini menyoroti tenaga kesehatan muda di tiap negara yang akan memikul tanggung jawab memetakan kebutuhan masa depan sektor pelayanan kesehatan di negara mereka. Hasil temuan menunjukkan sikap dan keyakinan dan etos kerja luar biasa yang dimiliki para tenaga kesehatan terhadap pekerjaannya, kesenjangan antara pelatihan medis dan praktik aktual, serta pandangan optimis mereka untuk masa depan pelayanan kesehatan digital. Berdasarkan survei lanjutan beberapa bulan setelah pandemi, perspektif ini semakin diperkuat oleh pengalaman mereka menangani COVID-19 dalam beberapa bulan terakhir.

Temuan FHI 2020 mengidentifikasi tiga tema utama dan temuan utama, yaitu:

1. Generasi muda dokter menunjukkan dedikasi tinggi dan percaya dengan teknologi

Saat COVID-19 menyerang, 82% tenaga kesehatan muda yang disurvei di negara Asia-Pasifik menyatakan bahwa mereka puas dengan pekerjaan mereka, meskipun harus menangani tambahan pasien per minggunya (rata-rata 103 pasien), dibandingkan dengan Amerika Serikat (99) atau Belanda (65). Karena volume pasien yang lebih tinggi, 34% mengatakan stres terkait pekerjaan membuat mereka mempertimbangkan untuk meninggalkan profesinya. Namun angka ini lebih rendah dibandingkan dengan Arab Saudi (45%) atau Amerika Serikat (46%).

Memasuki beberapa bulan pandemi COVID-19, para dokter muda mengalami dampak yang yang cukup besar, dengan pengecualian di Singapura. Laporan FHI Insights menemukan bahwa dokter muda yang disurvei di Singapura tetap berkomitmen dan positif. Pengalaman dan pelajaran yang didapat selama periode ini malah menguatkan panggilan hati mereka dalam bekerja (57%, dibandingkan rata-rata 39% dari 5 negara yang disurvei). Mereka juga mendapatkan apresiasi yang lebih besar dari pasien (64%, dibandingkan rata-rata 47% dari 5 negara yang disurvei).

Terlepas dari pengalaman kerja selama pandemi, 68% dokter muda di Singapura mengatakan mereka cenderung akan bertahan dalam profesi mereka, dibandingkan dengan Amerika Serikat (13%) dan Jerman (23%).

Dengan fokus dan investasi negara-negara Asia-Pasifik menuju digitalisasi layanan kesehatan, tenaga kesehatan muda lebih yakin pada potensial data dan teknologi untuk meningkatkan pengalaman mereka dan pasien yang mereka rawat.

Mereka melihat manfaat teknologi kesehatan seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan telehealth untuk mentransformasi layanan kesehatan, terutama selama pandemi. Hampir 9 dari 10 (87%) setuju bahwa teknologi kesehatan digital yang tepat memiliki potensi menurunkan beban kerja mereka, 77% mengatakan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan pengalaman pasien, dan 76% mengatakan bahwa adopsi teknologi kesehatan digital dapat menurunkan tingkat stres yang mereka alami.

Untuk Indonesia, teknologi seperti ini dapat menjadi pilar transisi skala besar menuju teknologi pelayanan kesehatan berbasis digital. Selain itu, keberadaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), big data, dan inovasi dalam smart patient monitoring (teknologi pintar untuk memonitor pasien) menawarkan kesempatan meningkatkan kualitas dan kecepatan layanan kesehatan. Selama pandemi ini, percepatan adopsi telemedis digunakan tidak hanya untuk memperluas jangkauan pelayanan ke luar rumah sakit untuk pasien, tetapi sekaligus mengurangi risiko infeksi pada petugas kesehatan dan pasien.

Dr. Nurhuda Hendra Setyawan, dokter spesialis radiologi muda di RSUP Sardjito Yogyakarta menyoroti bagaimana percepatan adopsi teknologi digital dapat mempermudah pekerjaan tenaga kesehatan yang semakin menumpuk, terlebih saat ini beberapa rumah sakit menerapkan sistem shift untuk menurunkan potensi terpapar virus COVID-19.

“Di saat kita harus membatasi kontak dengan pasien dan rekan tenaga kesehatan lainnya, teknologi pelayanan kesehatan digital seperti telehealth dan telemedis dapat sangat membantu pekerjaan kami, seperti distribusi beban kerja layanan radiologi kepada tenaga kesehatan yang tidak harus datang langsung ke rumah sakit,” Ujar dr.Nurhuda.

2. Kesenjangan tetap ada dalam ekspektasi karier, berdasarkan pengalaman dokter-dokter muda Asia-Pasifik

Terlepas dari dedikasi mereka kepada pasien dan keyakinan kuat dalam pekerjaan mereka, tenaga kesehatan muda yang disurvei di Asia-Pasifik khawatir dengan kesenjangan keterampilan yang mereka hadapi, atau kekurangan dalam realitas karier mereka jika dibandingkan dengan harapan selama pendidikan kedokteran mereka (42%). Stres terkait pekerjaan yang berpotensi menyebabkan kelelahan juga merupakan realitas bagi 73% tenaga kesehatan muda di Asia-Pasifik. Hal ini dapat dipengaruhi oleh tingginya volume pasien yang mereka jumpai tiap minggunya.

Indonesia sedang kekurangan jumlah tenaga kesehatan, dengan rasio pasien dan dokter pada 0.4:10.000, sangat jauh dibandingkan angka rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 1:1000. Sejalan dengan kebutuhan akan layanan kesehatan yang terus bertumbuh, terdapat potensi untuk mendorong upaya meningkatkan jumlah tenaga kesehatan dengan memahami pengalaman mereka yang ada saat ini. Selain itu, pemanfaatan inovasi sangat penting untuk membantu para tenaga kesehatan membangun keterampilan tambahan di era digital untuk hasil perawatan pasien yang lebih baik.

“Dari pengamatan saya di lingkungan sekitar, tenaga kesehatan muda lebih banyak menggunakan teknologi dalam menjalankan pekerjaannya. Mereka juga terbuka terhadap ide-ide baru dan pandangan berbeda, dan tertarik terhadap kesempatan berkolaborasi multidisipliner,” tambah dr. Nurhuda.

Sejalan dengan digitalisasi perawatan kesehatan, tenaga kesehatan di Asia-Pasifik juga merasa tidak dipersiapkan berhadapan dengan data. Hampir setengah (47%) mengatakan bahwa pendidikan kedokteran yang mereka tempuh hanya mempersiapkan sedikit atau bahkan sama sekali tidak mempersiapkan mereka berhadapan dengan aspek-aspek data pekerjaan mereka, seperti analisis atau menginterpretasi data. Meski pun begitu, 51% mengatakan mereka terus menerima pelatihan di area ini di rumah sakit atau tempat mereka praktik untuk menutup kesenjangan keterampilan terkait data.

Setidaknya setengah (56%) tenaga kesehatan di Asia-Pasifik percaya mereka dapat mendorong perubahan dalam manajemen rumah sakit. Namun untuk kelompok yang merasa tidak bisa atau tidak mengetahui apakah mereka bisa mendorong perubahan, 48% merasa bahwa suara dan usulan mereka tidak dilakukan, didengarkan, atau diakui. Keputusan yang dibuat oleh pemangku kepentingan non-medis juga tercatat berdampak negatif pada 30% tenaga kesehatan muda di kawasan Asia-Pasifik. Hal ini memengaruhi kepuasan kerja mereka secara keseluruhan.

Terlepas dari saat ini, banyak yang masih khawatir tidak dapat beradaptasi dengan kebutuhan praktik perawatan kesehatan yang terus berkembang. Beban administrasi yang meningkat, seperti mendokumentasikan rekam medis elektronik (38%) dan peningkatan litigasi / paparan hukum (48%), memiliki dampak negatif yang besar pada kepuasan tenaga kesehatan muda di Asia-Pasifik.

3. Memberdayakan tenaga kesehatan muda di Asia-Pasifik

Terlepas dari tantangan yang dihadapi, studi FHI juga mengidentifikasi keinginan para generasi tenaga kesehatan muda untuk lingkungan kerja yang mendorong kolaborasi dan menawarkan fleksibilitas.

Yang paling utama adalah menciptakan lingkungan yang mendukung dan merangkul teknologi untuk meringankan beban kerja dan mendorong keterlibatan. Faktor tempat kerja sangat penting bagi tenaga kesehatan muda Asia-Pasifik. Para responden menyatakan ketika memilih tempat bekerja, mereka memperhitungkan aspek akses ke peralatan dan teknologi medis terkini (69%), otonomi profesional (65%), budaya kolaboratif (65%), serta dukungan terhadap keseimbangan kehidupan dan pekerjaan (71%).

“Para tenaga kesehatan muda saat ini memikul tanggung jawab untuk mengubah masa depan pelayanan kesehatan, tetapi banyak yang masih merasa pendapat mereka tidak didengar, mengalami kendala dalam aspek non-klinis dalam praktik, dan mengalami stres sebagai akibat dari dedikasi mereka yang tak kenal lelah untuk merawat pasien,” ujar Caroline Clarke, Market Leader, Philips ASEAN Pacific. “COVID-19 telah mengungkap celah dan peluang untuk perubahan dalam pelayanan kesehatan. Hal yang perlu kita garis bawahi adalah memelihara dan memberikan dukungan, platform dan adopsi teknologi digital yang memadai untuk memberdayakan para tenaga kesehatan agar dapat bekerja lebih efektif demi masa depan pelayanan kesehatan yang lebih baik. “

Sejak 2016, Philips telah melakukan riset untuk membantu menentukan kesiapan negara-negara menghadapi tantangan global dan membangun sistem perawatan kesehatan yang efektif dan efisien. Untuk detail metodologi Future Health Index dan akses laporan FHI 2020 lengkap, termasuk riset ‘Future Health Index Insights: COVID-19 dan Tenaga Kesehatan Muda’, kunjungi situs https://www.philips.com/a-w/about/news/future-health-index.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *