27 Maret 2025

Marketplus.id – Bicara mengenai hoaks tidak pernah ada habisnya. Sesuai pengertiannya hoaks adalah informasi yang tidak benar tapi dibuat seolah-olah benar adanya. Karena dibuat dengan sedemikian rupa akhirnya ada saja orang yang terpapar hoaks. Lebih parahnya lagi ketika orang itu percaya dan menyebarkannya. Sehingga penyebaran hoaks ini seperti bola salju yang semakin membesar.

Clarissa Darwin seorang content creator yang juga Key Opinion Leader dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 wilayah Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Rabu (23/6/2021) mengatakan masyarakat Indonesia gampang banget terpicu berita-berita viral. Padahal belum tentu benar, namun langsung langsung bereaksi.

“Kayak gitu kan jatuhnya hoaks. Ketika belum tahu benar atau tidak lalu tiba-tiba berkomentar kasar, menyudutkan orang, menghina. Ini jadi sangat disayangkan. Berita hoaks bisa bergulir menjadi hal yang lebih besar,” ujarnya.

Tindakan agar berhati-hati menyebarkan informasi jangan sampai yang dibagikan malah hoaks termasuk dalam salah satu etika berinternet. Heni Mulyati M.Pd dari MAFINDO pun ikut membagikan berbagai jenis hoaks agar masyarakat lebih teliti ketika mendapatkannya.

Diambil dari data First Draft ada tujuh jenis hoaks. Ini harus bisa ditelaah agar kita sadar bahwa hoaks ini adalah masalah besar.

Pertama hoaks satire atau parodi. Hoaks jenis ini tidak merugikan tapi cukup berpotensi mengelabui. Misalkan promo bensin gratis di tanggal 29 – 30 Februari, padahal bulan Februari hanya punya 28 hari saja, tidak ada tanggal 29 atau 30. Jika seseorang tidak cukup teliti bisa jadi terkelabui.

Kedua konten palsu yang memang sengaja dibuat padahal tidak ada. Ketiga koneksi yang salah. Ini ketika judul, gambar, atau keterangan tidak mendukung konten atau tidak terikat antara satu dengan yang lainnya. Misalkan berita yang judul dan isinya tidak sama, biasanya dibuat hanya untuk sensasi

Keempat konten yang menyesatkan di dalamnya biasanya ada penggunaan informasi sesat untuk membingkai sebuah isu atau individu. Konten dibentuk dengan memanfaatkan informasi asli, seperti gambar, pernyataan resmi, atau statistik, tetapi diedit tidak memiliki hubungan dengan konteks aslinya.

Kelima konten yang salah yaitu ketika konten yang asli dipadankan atau dikait-kaitkan dengan konteks informasi yang salah. Keenam konten tiruan misalkan SMS yang menyatakan kita dapat voucher atau hadiah sesuatu dan diminta membuka link tertentu.

“Terakhir konten manipulasi yaitu ketika informasi atau gambar yang asli sengaja dimanipulasi untuk menipu. Biasanya konten yang sudah ada diedit dengan tujuan untuk mengecoh publik. Semua jenis ini harus kita kenali agar lebih waspada,” tutur Heni.

“Kita harusnya jadi contoh yang lebih baik, etika, sopan tahu mana yang benar, dan tahu batasan. Warga net harusnya seperti itu. Dan semua bisa terjadi dengan literasi digital yang baik, mereka akan punya cukup kendali dan batasan yang jelas. Ini akan bergulir ke generasi berikutnya jika tidak berubah jadi baik mulai sekarang,” lanjut Clarissa menutup sesinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *