
Marketplus.id — Kekerasan dan pelecehan seksual di era digital kian marak, menyasar korban terutama anak, remaja dan perempuan. Selain tindakan hukum yang tegas bagi pelaku, upaya pencegahan juga penting dilakukan melalui pemahaman etika digital.
Hal itu menjadi pembahasan dalam webinar bertema “Waspada Pelecehan Seksual di Era Digital!”, Jumat (5/8), di Makassar, Sulawesi Selatan, yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi. Hadir sebagai narasumber adalah Relawan Mafindo Bogor, Ahmad Ubaedillah; Anggota Japelidi, Made Dwi Adnjani; dan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pejuang Republik Indonesia, Husnul Hidayah.
Dalam webinar tersebut, Ahmad Ubaedillah menyatakan, fenomena pelecehan seksual ibarat angina, ada dan nyata serta dapat dirasakan namun sulit untuk mengetahui bentuknya karena pemahaman setiap orang terhadap tindakan tersebut berbeda-beda. Salah satu bentuk kejahatan siber atau cyber crime yang banyak menimpa anak dan remaja di Indonesia yakni cyber sexual harassment atau diartikan sebagai bentuk pelecehan seksual di era digital.
Ahmad menjabarkan pelecehan seksual sebagai pengulangan yang disengaja, secara online menggunakan telepon seluler, email, dan situs web, dapat terjadi juga melalui media seperti ruang obrolan (messenger), situs jejaring sosial oleh individu atau kelompok untuk menyakiti orang lain. “Tindakan ini biasanya menargetkan perempuan sebagai korban utama,” ujarnya.
Dia pun membeberkan beberapa bentuk pelecehan seksual antara lain sexting yaitu pengiriman gambar atau video pornografi kepada korban; cyber harassment yakni penggunaan teknologi untuk menghubungi, melecehkan, mengganggu, mengancam, atau menakut-nakuti korban; dan cyber stalking, penggunaan teknologi untuk menguntit dan mengawasi tindakan atau perilaku korban yang dilakukan dengan pengamatan langsung atau pengusutan korban. Untuk menekan kasus pelecehan seksual di era digital, Ahmad mengingatkan pentingnya memahami netiket atau tata krama dalam menggunakan internet. Contohnya, tidak sembarangan mengunggah atau menyebarkan foto atau video anak di media sosial.
Made Dwi Adnjani menambahkan, dampak pelecehan seksual bagi korban bisa menimbulkan kerugian secara fisik, psikologis, maupun ekonomi. Selain itu juga memicu keterasingan sosial, dimana korban jadi menarik diri dari kehidupan sosial atau takut bertemu orang lain. Made lantas membeberkan hal-hal yang bisa dilakukan jika mengalami pelecehan seksual di ranah digital. Pertama, simpan barang bukti. Capture bukti bullying yang diterima dari media sosial, baik berupa pesan, foto, atau komentar agar bisa ditunjukkan ke pihak yang berwenang. Catat juga tanggal, waktu dan kronologi kejadiannya. Selanjutnya, pantau situasi yang sedang dihadapi untuk menilai seberapa bahayanya tindakan pelaku.
“Jangan tinggal diam dalam situasi yang semakin mempersulit kita karena tidak berani mengambil keputusan untuk melaporkan korban. Pastikan orang-orang di sekitar kita juga punya pemahaman yang sama terkait keamanan digital,” saran Made.
Hal yang juga tak kalah penting adalah mencari bantuan baik dari orang, lembaga, organisasi, atau institusi terpercaya yang dapat memberikan bantuan terdekat dari lokasi tempat tinggal korban. Selain itu, batasi akses pelaku pelecehan seksual dengan cara melaporkan dan memblokir akun pelaku.
Sementara itu, Husnul Hidayah menyoroti kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) secara daring, yaitu perilaku mengontrol, mempermalukan, menguntit, dan menyakiti atau merugikan pasangan yang dilakukan secara online melalui penggunaan teknologi dan jejaring sosial. Husnul menjelaskan, KDP ada yang berupa direct aggression yaitu perilaku kekerasan yang ditujukan untuk menyakiti pasangan.
“Contohnya menyebarkan rahasia terkait pasangan sendiri melalui media sosial, menciptakan profil akun media palsu untuk menguji ataupun membuat masalah, serta menuliskan komentar memalukan dan merendahkan pasangan di media sosial ataupun chat personal,” bebernya.
Adapun jenis lainnya dari KDP adalah controlling, yaitu perilaku mengontrol pasangan secara berlebihan. Misalnya, kerap memeriksa gawai, media sosial dan kotak pesan pasangan tanpa izin. Ada juga yang melacak dan mengawasi keberadaan pasangan menggunakan teknologi dan sosial media.
Dengan hadirnya program Gerakan Nasional Literasi Digital oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI diharapkan dapat mendorong masyarakat menggunakan internet secara cerdas, positif, kreatif, dan produktif. Kegiatan ini khususnya ditujukan bagi para komunitas di wilayah Sulawesi dan sekitarnya yang tidak hanya bertujuan untuk menciptakan Komunitas Cerdas, tetapi juga membantu mempersiapkan sumber daya manusia yang lebih unggul dalam memanfaatkan internet secara positif, kritis, dan kreatif di era industri 4.0.
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bersama GNLD Siberkreasi juga terus menjalankan program Indonesia Makin Cakap Digital melalui kegiatan-kegiatan literasi digital yang disesuaikan pada kebutuhan masyarakat. Untuk mengikuti kegiatan yang ada, masyarakat dapat mengakses info.literasidigital.id atau media sosial @Kemenkominfo dan @Siberkreasi.