Marketplus.id – Tiga bulan terakhir, harga nikel di bursa perdagangan London Metal Exchange (LME) terus memperlihatkan tren kenaikan. Dampaknya, Harga Patokan Mineral (HPM) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan rata-rata harga di LME tiga bulan ke belakang juga meningkat. Dibandingkan bulan September, HPM Nikel bulan ini naik US$ 0,05 per wmt.
Berdasarkan Keputusan Menteri EDM Nomer 170.K/MB.01./MEM.b/2022 terkait Harga Mineral Logam Acuan dan Harga Batubara Acuan untuk Oktober 2022 yang ditandatangani tanggal 7 Oktober lalu, Harga Mineral Acuan (HMA) Nikel ditetapkan Pemerintah sebesar US$22.081,25 per dmt. Harga itu lebih tinggi dibandingkan HMA nikel di bulan September yang sebesar US$22.059,13 per dmt.
“Kami yakin masa depan nikel akan semakin cerah. Dan kita punya peluang besar untuk merebut pemenuhan kebutuhan dunia karena Indonesia memiliki lebih dari setengah cadangan dunia. Sekitar 150 juta ton,” ujar Helmut Hermawan, Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri, perusahaan pertambangan nikel yang beroperasi di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Tak hanya terbesar dari sisi volume, penyebaran cadangan nikel di Indonesia juga paling besar di dunia. Di Indonesia, 90% cadangan nikel tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Menurut Helmut, tiga besar penghasil nikel dunia berada di Sulawesi. Beberapa daerah Sulawesi yang berkembang menjadi lokasi pertambangan nikel antara lain Kolaka (Sulawesi Tenggara), Morowali (Sulawesi Tengah) dan Luwu Timur (Sulawesi Selatan). Daerah yang disebut terakhir, di mana CLM beroperasi, merupakan kabupaten penghasil nikel terbesar di dunia.
Sementara di Maluku daerah tambang nikel antara lain terdapat di Halmahera (Maluku Utara) dan Pulau Ternate. Cadangan nikel juga meluas sampai ke Papua, yang lokasi tambangnya antara lain terdapat di Pulau Gag.
Selain terbesar dari sisi volume, kualitas nikel di Indonesia juga terbaik di dunia. Nikel kelas satu sangat dibutuhkan untuk pengembangan baterai mobil listrik untuk campuran jenis logam cobalt.
Meski permintaan nikel dari segmen baterai ini belum terlalu besar, namun segmen kendaraan listrik (electric vehicle) yang diperkirakan akan tumbuh cepat, akan memicu naiknya permintaan nikel kelas satu dari Indonesia. Data dari Badan Energi Internasional (International Energy Agency – IEA) juga mengungkapkan, kendaraan listrik saat ini menyumbang 2% lebih dari penjualan mobil global, dan akan menjadi 58% di tahun 2040.
Biji nikel berkadar tinggi sangat dibutuhkan untuk industri pengolahan atau smelter di Indonesia. Selain itu, nikel merupakan bahan baku penting bagi pembangkit energi geothermal dan salah satu bahan baku baja tahan karat (stainless steel). Saat ini, serapan nikel untuk kebutuhan industri stainless steel tercatat masih tertinggi di Indonesia. Lebih dari itu, perusahaan listrik juga sangat butuh nikel meski dalam kadar rendah. Nikel adalah bahan baku pembuatan suku cadang mesin, kabel dan lain-lain.
“Pendek kata kebutuhan nikel sangat intensif dalam perkembangan industri hulu sampai hilir. Karena itulah kami sangat optimis terhadap masa depan nikel Indonesia,” ujar Helmut.
Komoditas strategis
Saat ini, nikel merupakan salah satu sumber daya mineral yang menjadi komoditas strategis di pasar global. IEA memproyeksikan, permintaan nikel di pasar global akan terus meningkat seiring dengan penguatan tren energi baru terbarukan (EBT). Dalam laporannya di Southeast Asia Energy Outlook 2022, IEA memprediksi permintaan nikel untuk keperluan teknologi energi bersih akan berkembang pesat sampai 20 kali lipat selama periode 2020 sampai 2040.
Khusus untuk kawasan Asia Tenggara, IEA memperkirakan nilai penjualan sumber daya nikel pada 2020 baru mencapai US$15,2 miliar. Kemudian pada 2030 nilainya diproyeksikan naik dua kali lipat lebih menjadi US$36,6 miliar, dan meningkat lagi jadi US$40,8 miliar pada 2050.
Sejauh ini, konsumen nikel terbesar adalah negara China. Mengacu data Statista, permintaan nikel China pada tahun 2020 lalu mencapai 1,31 juta ton. Sementara permintaan nikel global yang pada tahun lalu mencapai 2,78 juta ton, seperti ditulis menurut International Nickel Study Group (INSG), diperkirakan akan meningkat menjadi 3,02 juta ton tahun ini. INSG mengatakan, peningkatan itu antara lain ditopang oleh perluasan produksi baterai global untuk memasok kendaraan listrik beberapa tahun mendatang.
Lebih khusus untuk Indonesia dan Philipina yang merupakan negara produsen nikel terbesar di dunia, IEA menilai hal ini merupakan peluang besar bagi negara-negara Asia Tenggara. Apapun kebijakan yang diterapkan Indonesia, masih menurut IEA, dengan pasokan setengah dari pertumbuhan nikel global, akan memberi pengaruh sangat signifikan terhadap rantai pasokan nikel dunia.
Seperti dipahami bersama, awal tahun ini Indonesia menerapkan larangan ekspor bijih nikel. Larangan tersebut diterapkan seiring dengan pengembangan industri hilir, agar sumber daya nikel bisa diolah di dalam negeri. Larangan ini, tak pelak menjadi katalis yang mendongkrak harga nikel lebih tinggi.