
Marketplus.id – Keputusan Pemerintah Indonesia untuk mewajibkan tes PCR sebagai syarat melakukan perjalanan dengan pesawat udara menuai kritikan. Bukan masalah layanannya, tetapi kebijakan yang tertuang dari instruksi Presiden Joko Widodo melalui Luhut Binsar Pandjaitan ini meminta agar tarif tes PCR diturunkan hingga Rp300.000.
Instruksi ini jelas menuai pro kontra. Sebab, pakar menilai wajibnya PCR bagi syarat perjalanan kurang bijak, meski tujuannya menekan kasus COVID-19. Pemerintah dinilai tidak konsisten dalam memberlakukan aturan untuk menekan angka penyebaran Covid-19, terutama terkait penetapan tarif Swab Test. Pemerintah terkesan gegabah dalam mengambil langkah. Bukan tanpa alasan, beberapa saat lalu, Kemendagri sempat mengeluarkan peraturan bahwa PCR menjadi syarat untuk penumpang yang melakukan perjalanan transportasi udara, selang beberapa hari menuai kontra, kembali muncul Surat Edaran terbaru yang menyatakan bahwa PCR dapat digunakan dan berlaku 2×24 jam, Antigen berlaku 1×24 untuk penerbangan domestik.
Instruksi Presiden melalui Luhut untuk menurunkan harga PCR menjadi Rp300.000 juga menuai kontra karena PCR akan dijadikan syarat utama untuk seluruh moda transportasi. “Mungkin saja diturunkan. Tetapi harus ada subsidi dari Pemerintah Indonesia agar tarifnya dapat ditekan hingga mencapai Rp300.000,” pandang Suryani Motik, Waketum Kadin Indonesia Bidang GCG & CSR
“Namun, margin 50 – 60 persen yang disebutkan belum termasuk komponen jasa pelayanan biaya operasional, tenaga kesehatan dan dokter yang diperlukan dalam memproses sampel serta memvalidasi hasil PCR,” tambahnya.
Tercatat, sudah dua kali Pemerintah menurunkan tarif tes PCR yang berlaku secara nasional. Sayangnya, tidak semua penyedia layanan PCR setuju dengan kebijakan ini, mengingat akan ada dampak dari segi kualitas yang dipertaruhkan. Bukan rahasia bahwa bahan-bahan yang digunakan dalam memproses sampel PCR masih diimpor dari luar. Maka dari itu banyak hal yang harus dipertimbangkan terutama dari segi bahan material produksi dalam negeri belum dapat memenuhi kebutuhan fasilitas kesehatan di Indonesia.
Hal ini disampaikan langsung Kabid Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19, Alexander Gintung “Apabila harga PCR harus diturunkan menjadi RP 300.000, maka harus disubsidi oleh pemerintah. Hal ini terkait dengan produksi bahan baku yang sampai sekarang belum dapat terproduksi besar di Indonesia,” ungkapnya saat diskusi di Apa Kabar Indonesia Pagi TV One, Selasa (26/10).
Sayangnya, menurunkan tarif tidak seperti membalikkan telapak tangan. Karena, kebijakan ini akan memiliki dampak besar terhadap kualitas dari pelayanan itu sendiri. Mengingat dari awal, para penyedia layanan PCR telah beberapa kali menyesuaikan tarif kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Selain itu, para penyedia layanan sendiri menyediakan paket tes PCR yang harganya masih dalam regulasi pemerintah yang wajar. Jika perlu dibandingkan, harga tes PCR di luar negeri jauh lebih tinggi. Pun jika ingin dibandingkan, ada India yang memiliki tarif lebih rendah. Namun, tarif PCR di India sendiri mendapatkan subsidi penuh dari Pemerintah Pusat mengingat mereka sempat mengalami ledakan kasus COVID-19 yang cukup dahsyat.
“Jadi, intinya kembali ke awal, kami selalu mengedepankan kualitas. Dan ketepatan hasilnya dapat kami pertanggung jawabkan. Kami akan sangat berat hati jika harus menurunkan lagi tarifnya karena hal ini akan berdampak langsung dengan kualitas layanan yang kami tawarkan pada pelanggan kami,” ungkap Nathasa Febrina, perwakilan dari Bumame Farmasi.
“Sejak awal, Bumame Farmasi sejak awal telah berkomitmen memberikan layanan untuk memudahkan masyarakat. Selain itu, kami selalu mengacu kepada kebijakan yang dirilis oleh Pemerintah Pusat. Semua laboratorium kami telah bersertifikat resmi Kementerian Kesehatan. Kami berharap Pemerintah Indonesia dapat mempertimbangkan keputusan ini lebih bijak agar kami sebagai penyedia layanan dapat bekerja maksimal,” tambahnya.
Pada akhirnya, kualitas sebuah layanan PCR menjadi kunci dari suksesnya tracing demi menahan laju penyebaran COVID-19. Apakah pemerintah rela mengorbankan kualitas karena keselamatan dan kesehatan masyarakat menjadi taruhannya di sini. Bukankah pemerintah ingin memperbaiki tracing dengan testing yang berkualitas agar tidak terjadi hasil sesat yang justru akan berakibat buruk pada tracing?