Marketplus.id — Kecanggihan teknologi kerap disalahgunakan di ruang digital, terutama yang menyangkut penghargaan karya milik orang lain. Selain kurangnya pemahaman terhadap regulasi dan etika digital mengenai hak cipta, penegakan sanksi terhadap pelanggaran hak cipta juga harus ditegakkan. Pemahaman mengenai penghargaan terhadap hak cipta bisa dilakukan literasi digital.
Hal itu mengemuka dalam webinar yang mengambil tema “Konten Digital: Hak Cipta dan Etika”, Selasa (22/11) di Pontianak, Kalimantan Barat, yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi. Narasumber dalam webinar ini adalah Direktur Utama Lembaga Pengembangan Kewirausahaan UMKM Borneo Digital Marketing Dedi Priansyah; Chief Marketing Officer PT Cipta Manusia Indonesia Annisa Choiriya Muftada; serta Direktur Infina Center Rachel Octavia.
Dalam paparannya, Annisa Choiriya menjelaskan definisi tentang hak cipta, yaitu hak eksklusif yang timbul setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata. Perlindungan hukum atas ciptaan yang berupa karya tulis, musik, karya arsitektur, seni rupa, peta, atau karya seni batik berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 70 tahun kemudian. Sayangnya, banyak yang tidak paham mengenai hak cipta sehingga banyak terjadi pelanggaran.
“Sebaliknya, ada yang belum paham bagaimana mendaftarkan hak kekayaan intelektual agar mendapat perlindungan hukum. Hak kekayaan intelektual meliputi hak merek, hak paten, dan hak cipta. Hak kekayaan intelektual ini bisa didaftarkan secara online ke situs Kementerian Hukum dan HAM,” ujar Annisa.
Bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta, lanjutnya, antara lain memberi wewenang kepada pihak lain untuk melanggar hak cipta, memiliki hubungan dagang atau komersial dengan barang bajakan, atau ciptaan-ciptaan yang memiliki hak cipta. Pelanggaran lainnya adalah mengimpor barang-barang ciptaan yang melanggar hak cipta, atau mengizinkan tempat penyelenggaraan umum sebagai tempat penayangan atau pameran yang melanggar hak cipta.
Rachel Octavia menambahkan, ada sejumlah etika bagaimana menghargai karya orang lain, termasuk di ruang digital. Agar terhindar dari masalah pembajakan atau pelanggaran hak cipta, sebaiknya mengajukan izin kepada pembuat karya jika berniat untuk menggunakannya, baik untuk aktivitas individu maupun komersial. Atau, bisa juga dengan cara mencantumkan sumber pembuat karya tersebut.
“Mengutip karya cipta orang lain adalah sah-sah saja selama disertai dengan prosedur yang tepat, seperti mengantongi izin atau menyebutkan sumbernya. Namun, apabila itu tidak dilakukan, sama saja dengan pelanggaran hak cipta,” kata Rachel.
Sementara itu, Dedi Priansyah mengatakan, etika digital ditawarkan sebagai pedoman menggunakan berbagai platform digital secara sadar, tanggung jawab, berintegritas, dan menjunjung nilai-nilai kebajikan antarinsan dalam menghadirkan diri, kemudian berinteraksi, berpartisipasi, bertransaksi, dan berkolaborasi dengan menggunakan media digital.
“Internet adalah anugerah, tetapi bisa menjadi bencana manakala teknologi “hanya bisa mengendalikan kita” manusia, tanpa jiwa-jiwa yang beretika,” ujar Dedi.
Dengan hadirnya program Gerakan Nasional Literasi Digital oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI diharapkan dapat mendorong masyarakat menggunakan internet secara cerdas, positif, kreatif, dan produktif. Kegiatan ini khususnya ditujukan bagi para komunitas di wilayah Kalimantan dan sekitarnya yang tidak hanya bertujuan untuk menciptakan Komunitas Cerdas, tetapi juga membantu mempersiapkan sumber daya manusia yang lebih unggul dalam memanfaatkan internet secara positif, kritis, dan kreatif di era industri 4.0.
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bersama GNLD Siberkreasi juga terus menjalankan program Indonesia Makin Cakap Digital melalui kegiatan-kegiatan literasi digital yang disesuaikan pada kebutuhan masyarakat. Untuk mengikuti kegiatan yang ada, masyarakat dapat mengakses info.literasidigital.id atau media sosial @Kemenkominfo dan @Siberkreasi.