Marketplus.co.id – Era milenial adalah suatu kondisi kehidupan atau zaman di mana semua kegiatan yang mendukung kehidupan sudah dipermudah dengan adanya teknologi. Hal ini mempengaruhi hampir semua bidang, seperti: bidang telekomunikasi, pendidikan, kesehatan, pemasaran, dan lain sebagainya.
Dunia digital pun mempengaruhi gaya hidup dan perilaku generasi milenial yang lahir antara tahun 1980 – 2000, di mana teknologi telah menjadi bagian dari kehidupannya. Tentu saja banyak hal yang bis dilakukan di dunia digital. Ia juga memunculkan tantangan dan peluang bagi siapa saja yang bisa memanfaatkannya dengan baik. Tantangan dan peluang ini menyebabkan banyak hal.
Salah satunya seperti yang diungkapkan Bentang Febrylian Mafindo Pemeriksa Fakta Senior Mafindo yaitu mengenai hoax. Kabar-kabar tanpa fakta aktual ini bisa mengenai siapa saja. Tak hanya pemula tapi juga yang sudah biasa berselancar di dunia maya.
“Hoax ini bisa menyerang siap saja tanpa mengenal latar belakanganya. Mau nggak mau yang harus dilakukan ya sabar mengedukasi perlahan, dari diri sendiri terus diingetin. Memang harus sabar dan kalau mau edukasi harus terus-terusan,” jelas Bentang.
Ia juga memaparkan dailysocial mengeluarkan data bahwa 56% pengguna digital masih cuek dengan hoax. Jadi mereka main sebar saja dan sisanya 44% mengaku sulit mendeteksi hoax. Karenanya diperlukan literasi yang terus berkesinambungan.
Bambang Sadono dari Inspirasi Untuk Bangsa menambahkan ada baikya pengguna digital media kembali ke Pancasila. Gunakan Pancasila tidak hanya di dunia nyata namun juga dunia digital.
“Terus jadikan Pancasila ini sebagai way of life. Pancasila harus menjadi perilaku dan karakter harus disosialisasikan terus menerus,” tegasnya.
Karena sedikit atau sekali saja kita mengunggah konten maka jejak digitalnya akan terekam. Hal itu juga tetap bisa berhubungan dengan dunia nyata. Dimana orang mencari rekomendasi, mempelajari latar belakang seseorang lewat media sosial.
“Rekam jejak digital positif bisa jadi membuka kesempatan tak terkira. 70% pemberi kerja menggunakan sosmed untuk menyaring kandidat, 43% employer memakai sosmed utntuk mengecek pegaawai mereka,” tutur Tio Utomo – Football Host & Podcaster.
Selain pembicara-pembicara di atas hadir pula Denden Sofirudin relawan TIK Indonesia yang juga Pemilik Rumah Kopi Temanggung dan Nattaya Laksita seorang Beauty Influencer dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital wilayah Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Jumat (4/6/2021). Webinar ini digelar di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia digagas Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Siberkreasi.
Webinar Literasi Digital ini memiliki empat pilar digital yaitu digital skill, digital safety, digital ethics dan digital culture. Nattaya menambahkan bahwa jika seseorang masuk ke ranah digital maka secara langsung pasti akan terpapar berbagai macam konten. Namun kendali ada di diri kita.
“Di media sosial, kita bisa membentuk idealisme atau standar diri kita, self-branding yang ingin kita tunjukan seperti apa. Ini beda yang sama pencitraan. Tipis tapi beda. Self-branding itu kelebihan yang kita punya, pencitraan itu yang kita ada-adain tapi sebenarnya ga punya. Tanya ke diri kita, passion-nya apa? Original aja jadi diri sendiri,” tutup Nattaya.